PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Iman
dan Taqwa adalah dua unsur agamis yang esensiil dari suatu agama dan tidak
mungkin terlepas dari pembahasan filsafat, khususnya filsafat agama yaitu
membahas masalah agama dari segi filsafat.
Filsafat
agama dalam pandangan berbagai filosof bukanlah pembahasan filsafat secara
bebas, tetapi ia membahas agama dari segi aspek filsafat dengan titik tolak
yang tertentu. Karena agama itu bermacam-macam pedoman dan landasannya, maka
sudah barang tentu landasan yang dipergunakan sebagai titik tolak pembahasan makalah
ini adalah ajaran Islam.
Landasan
berfilsafat adalah akal bukan wahyu, oleh karena itu dalam sejarah filsafat
terdapat filosof yang beriman dan ada pula filosof yang kufur yang hanya
percaya pada pengetahuan indra yang didukung oleh akal, terutama filosof yang
beraliran meterialistisme.
Sebenarnya
antara berfikir filosofis dan berfikir religius mempunyai titik mulai yang
sama, keduanya mulai dengan percaya. Dalam filsafat dimulai dengan percaya pada
kemampuan akal, sedangkan dalam agama dimulai dengan percaya pada ketetapan
wahyu. Menurut agama Islam, Iman diartikan secara sederhana adalah kepercayaan,
sedangkan dalam filsafat agama, Iman tersebut dipahami secara radikal.
Plato
sering menyebut Tuhan dengan kata (The Good), yaitu Tuhan yang baik, tetapi dia
tidak pernah menyebut Tuhan yang hidup (The Live). Bagi Aristoteles, bahwa
kepercayaan terhadap adanya Tuhan adalah kepecayaan kepada adanya zat yang
memberi arti kepada alam, tetapi Tuhan yang tidak dapat kita hubungi, artinya
bukan Tuhan yang dapat kita sembah dan kita mintai. Tuhan menurut Aristoteles merupakan it
bukan he. Tuhan menurut kepercayaan agama greek adalah Tuhan yang
dianggap mempunyai hubungan dengan masalah kerohanian atau suatu kekuatan dalam
dunia spiritual. Kita sedikit agak setuju Tuhan seperti yang dikemukakan
Pascal, yaitu Tuhannya Nabi Ibrahim, Nabi Ishak, Nabi Ya`qub, sebab Tuhan
ditambah predikat Nabi-Nabi yang diakui oleh agama Islam, sekalipun sifat-sifat
Tuhan tidak disebutkan. Tuhan yang dibahas dalam tulisan ini adalah Tuhan yang
diberi predikat 99 asma`ul husna.
Iman dan taqwa dalam judul
diatas bukan merupakan kesatuan yang utuh, akan tetapi antara keduanya
merupakan dua pengetahuan yang mempunyai hubungan yang erat sekali. Tinggi
rendahnya nilai keimanan berpengaruh besar terhadap tinggi rendahnya nilai
ketaqwaan. Sedangkan tinggi rendahnya nilai ketaqwaan sebagai bukti nilai
kebenaran nilai Iman yang dimiliki. Oleh karena itu makalah ini perlu sekali
terlebih dahulu membahas pengertian iman dan taqwa serta hubungan antara
keduanya.
Setiap lubuk hati manusia tidak
boleh kosong dari potensi kepercayaan. Usaha filosof untuk menjelaskan seluruh
kenyataan secara tuntas ternyata masih ada sesuatu sisa yang tidak dapat
dijelaskan yang berperan besar terhadap kehidupan manusia. Sisa ini oleh
Herbert Spencer diberi istilah The great of imknowable yang harus
diterima dengan sikap percaya atau tidak percaya. Bahkan dalam kehidupan
manusia sering dihadapkan dengan sesuatu misteri yang tersembunyi dibalik
gejala-gejala, bahwa dibalik segala sesuatu yang terpaksa harus dipercaya. Hal
ini mendorong untuk dibahas secara radikal oleh berbagai filosof yang tekun
dengan filsafatnya. Oleh karena itu dari sisi ini perlu dibahas tentang peran
iman dalam meningkatkan amal ketaqwaan.
Dalam agama Islam, iman
mempunyai peran dan pengaruh yang besar terhadap penghidupan manusia di alam
semesta ini, baik dalam segi hubungannya dengan
Tuhan dan dan sesama manusia maupun hubungannya dengan alam fisika dan
metafisika. Wilian James seorang filosof kelahiran New York dengan teori dogmatisnya telah
membahas masalah-masalah agama, khususnya tentang iman kepada Allah. James
tidak mempersoalkan tentang kebenaran kepercayaan-kepercayaan dalam agama,
tetapi yang dipersoalkan adalah hasil menjadikan agama sebagai pedoman hidup.
Baginya kalau kepercayaan atau ide-ide agama itu memperkaya hidup maka itu
adalah benar. Kalau ada anggapan yang dapat menjadi dasar suatu hidup yang
baik, maka sebaiknya percaya terhadap
anggapan itu. Kalau harus memilih antara anggapan yang berbeda maka
harus berfikir dari titik akhir. Perspektif tentang manusia dan dunia dengan
Allah menggambarkan masa depan yang lebih baik dan sesuai dengan keinginan kita
dari pada perspektif tanpa Allah. Perspektif pertama lebih berguna, maka lebih
benar. Dari sisi ini maka perlu dibahas pengaruh iman terhadap kehidupan
manusia.
1.2
Rumusan Masalah
1.2.1
Bagaimanakah iman dan taqwa serta hubungan antara
keduanya?
1.2.2
Bagaimanakah peranan iman dalam membentuk ketaqwaan?
1.2.3
Bagaimanakah pengaruh kekuatan iman terhadap
kehidupan individu dan masyarakat?
1.3 Rumusan Tujuan
1.3.1
Menjelaskan iman dan taqwa serta
hubungan antara keduanya
1.3.2
Menjelaskan peranan iman dalam membentuk
ketaqwaan
1.3.3
Menjelaskan pengaruh kekuatan iman terhadap kehidupan individu
dan masyarakat
1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat Teoritis
Kita dapat mengetahui dengan lebih
mendalam segala hal yang berkaitan dengan Iman dan Taqwa Dalam Perspektif Islam.
1.4.2
Manfaat
Praktis
Dapat menerapkan pengetahuan yang
diperoleh dalam kehidupan sehari-hari baik di lingkungan sekolah, keluarga,
maupun dalam kehidupan bermasyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Iman dan
taqwa serta hubungan antara keduanya
Iman
dan taqwa adalah dua unsur pokok bagi pemeluk agama. Keduanya merupakan elemen
yang penting dalam kehidupan makhluk manusia dan sangat erat hubungannya dalam
menentukan nasib hidupnya serta memiliki fungsi yang urgen.
Menurut
ahli hukum, iman itu hanya sekedar pengakuan suatu makna yang terkandung dalam
lubuk hati, menurut para teolog, iman itu adalah kepercayaan yang tertanam
dalam lubuk hati dengan keyakinan yang kuat tanpa tercampuri oleh keraguan dan
berperan terhadap pendangan hidup atau amal perbuatan sehari-hari. Sedangkan
menurut berbagai filosof, iman diartikan lebih jauh dari lafidz dan makna serta
tidak terikat dengan dalil-dalil apologis. Misalnya Karl Teodor Yoeper seorang
filosof Jerman mengetengahkan istilah iman falsafi yang universil yang berlaku
untuk semua zaman dan kebudayaan. Isi iman falsafi baginya, bahwa Allah itu
ada, manusia harus mampu memilih yang baik secara tak bersarat, dunia tidak
merupakan kenyataan terakhir dan bahwa cinta kasih manusia merupakan suatu
bukti adanya Allah. Semua pengertian-pengertian yang dikemukakan diatas pada
dasarnya menunjukkan, bahwa iman itu berperanan dan berpengaruh terhadap tingkah
laku manusia dalam segala aspek kahidupan manusia.
Menurut
filosof Islam Imam Ghozali bahwa iman itu berkaitan dengan hal-hal yang bersifat spiritual atau batin,
di mana hati dapat menangkap iman dalam pengertian hakiki melalui kasyaf yang
diperoleh berkat pancaran sinar Ilahi padanya. Dalam kesempatan lain beliau
menegaskan, bahwa arti iman adalah pengakuan yang kuat tidak ada pembuat (faa`il)
selain Allah. Makna iman yang dikemukakan ini menimbulkan problema metafisis,
diantaranya membatasi sebab pembuat (illah faa`iliyah) hanya kepada
Allah, menafikan kebebasan berikhtiar dari manusia serta penyerahan diri (tawakkal)
kepada-Nya. Pemikiran Imam Ghozali ini disebut dengan istilah tauhid, sebab
artinya keimanan itu tidak boleh menghubungkan sebab tersebut kepada selain
Allah. Dialah pembuat
satu-satunya dan selain-Nya hanya sekedar washilah (perantara). Hukumnya
perantara itu dalam tinjauan filsafat juga sebab, namun sebab pokok.
Bagi Imam Ghozali iman itu bukan lawan dari syirik, tetapi peng-Esaan
kepada Kholiq (Pencipta). Oleh karena itu, bagi orang yang meng-Esakan Allah
harus bersikap tawakkal. Tawakkal bukan berarti maniadakan ikhtiar, tetapi
maniadakan kebebasan berikhtiar, karena dalam tawakkal manusia berkesempatan
untuk kasab (berusaha). Bahkan dengan tawakkal itu dapat mengenal hakekat
ikhtiar dan sekaligus dapat mengetahui nilai dan kualitas iman. Iman yang
sebenarnya harus membuahkan tawakkal, sehingga dapat memperoleh ridho Allah.
Dalam kitab suci dikemukakan, bahwa Nabi Hud, Nabi Musa dan yang lainya telah
menjadikan tawakkal sebagai benteng kekuatan bertaqwa dalam menghadapi kaumnya.
Ini semua menunjukkan, bahwa antara iman dan taqwa saling berpengaruh dalam
membentuk manusia berkepribadian luhur.
Iman
menurut pemikiran Imam Ghozali diatas mengandung implikasi yang sangat luas.
Diantaranya sekaligus sebagai garis pemisah terhadap pandangan orang yang
mengingkari wujud dibalik materi, menolak dengan tegas faham polotisme, atheisme,
animisme, dan lainnya. Penafsiran sebab tauhid sebagaimana yang telah
diterangkan oleh Imam Ghozali tidak dapat disamakan dengan penafsiran sebab
yang dengan dikemukakan oleh Aristoteles, sebab Aristoteles tidak bermaksud
dengan konsepnya itu menafikan sebab material. Gerak alam ini dipandang olehnya
sebagai gerak tujuan (illah ghoyah) yaitu Tuhan adalah tujuan yang menjadi arah
gerak alam, sedangkan Imam Ghozali menafsirkan Allah penggerak satu-satunya. Dialah
pencipta segala sesuatu, pencipta absolut sebagaimana ditegaskan oleh wahyu-Nya.
Pada umumnya pada filosof yang tidak mengenal ide-ide agama, maka dalam
filsafat ketuhanan perlu berpendirian, bahwa permulaan alam hanya sebagai
pengatur dan penyusun materia in prima (materi pertama) sebagai Tuhan sendiri.
Pengertian pengatur dan penyusun lebih menunjukkan keterampilan daripada
pencipta. Pendirian mereka menjadikan wujud keseluruhannya tersusun dari sebab
akibat. Tuhan dan materi tunduk di bawah hukum kemestian (nesessity).
Jadi kenyataan isi dari iman antara filosof murni dengan filosof yang
mengakui ide-ide agama, khususnya Islam jauh berbeda, sehingga konsekuensinya
dalam pembentukan kepribadian luhur dan pola pikir dalam mengarungi kehidupan
ditengah-tengah masyarakat akan terjadi perbedaan juga. Disini tampak dengan
jelas, bahwa sila pertama dari Pancasila sebagai asas tunggal bermasyarakat dan
bernegara tidak sama dengan kepercayaan para filosof yang tidak mengenal agama
dalam mempercayai keberadaan Tuhan. Tuhan dalam Pancasila adalah Tuhan Yang Maha
Esa, Pencipta alam semesta, Penagsih, Penyayang, dan sebagainya seperti
dijelaskan oleh ajaran agama khususnya ajaran Islam. Pemikiran ketuhanan yang
terkandung dalam Pancasila ternyata berpengaruh besar dalam merumuskan Tujuan
Pendidikan Nasional, Pedoman Pengahayatan dan Pengamalan Pancasila dan
aturan-aturan yang lain di Negara kita yang hampir kesemuanya mengandung
norma-norma luhur.
Filosof-filosof Islam, baik Mu`tazilah maupun Ahli Sunnah berpendapat
bahwa hukum beriman kepada Allah adalah wajib karena iman itu dapat diharapkan
terbentuk masyarakat yang bertaqwa. Mereka berselisih tentang dasar terjadinya
kewajiban itu dari agama, sebab akal tidak mengenal hukum wajib. Akal hanya
mengenal tepat dan tidak tepat, sesuai dan tidak sesuai, benar dan salah. Abu
Mansur Maturidi dan pemikir Ahli Sunnah memberikan penyelesaian kontradiksi
tersebut dengan penegasannya bahwa dasar kewajiban beriman itu dari agama dan
dapat difahami kebenarannya oleh akal.
Taqwa
itu pada prinsipnya adalah amal batin atau lahir, baik yang bersifat mengikuti
perintah Tuhan maupun amal yang berbentuk menjauhi larangan Tuhan. Yang menjadi
problema apakah unsur amal itu menjadi syarat iman, dengan pengertian, bahwa
apakah tanpa amal seseorang tidak dianggap beriman.
Mayoritas
ahli pikir Mu`tazilah dan Khowarij berpendirian, bahwa amal adalah rukun iman.
Iman seseorang tidak dapat diterima tanpa amal. Tetapi menurut ahli pikir Ahli
Sunnah, bahwa amal bukan sebagian rukun iman dengan alasan, bahwa apabila amal
termasuk rukun iman berarti Iman dan Islam merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisah, sedangkan berdasar penjelasan Hadist antara keduanya berlainan,
dimana Jibril bertanya kepada Nabi Muhammad SAW tentang apa rukun Iman dan
rukun Islam. Masing-masing dijawab dengan jawaban yang berbeda. Bagi ahli pikir
Ahli Sunnah kalimat “Alladzina Amanu” memang selalu diikuti kalimat “wa amilush
sholihat” ini menurut analisa bahasa bahkan menunjukkan perbedaan. Artinya iman
itu bukan amal dan amal itu bukan iman. Hal ini sama dengan kalau orang yang
makan telah pergi. Ini menunjukkan, bahwa berkata itu bukan makan dan makan itu
bukan berkata. Tetapi ahli pikir Ahli Sunnah mengakui bahwa antara keduanya
mempunyai pengaruh yang erat sekali. Apabila antara dua pendapat tersebut
diatas dikomparasikan maka pendapat ahli pikir Ahli Sunnah lebih kuat
argumentasinya. Sebab manakala amal itu termasuk rukun iman dan iman tidak diterima tanpa amal
sholeh, maka alangkah sedikitnya orang-orang yang masuk surga. Dalam pada itu
dikemukakan oleh suatu hadits, bahwa “akan keluar dari neraka siapa saja yang
didalam lubuk hatinya terdapat sedikit dari iman”. Hadits ini menunjukkan orang
yang beriman tanpa amal bagaimanapun akan masuk surga sekalipun sangat lama
sekali merasakan neraka.
2.2 Peranan
Iman dalam membentuk amal ketaqwaan
Peranan
iman tidak dapat terhitung jumlahnya. Yang tidak diketahui lebih banyak dari
pada yang diketahui. Bahkan peranannya dalam dunia metafisika sedikit sekali
yang dapat dijelasakan.
Iman
adalah sesuatu yang tersembunyi dalam jiwa (Ma waqaro fil qalbi). Berdasarkan
eksperimen sebagian besar ahli jiwa berkesimpulan, bahwa iman kepada Allah
termasuk obat yang manjur untuk menyembuhkan penyakit jiwa atau menghilangkan
gangguan jiwa. Kesimpulan ini diperkuat oleh filosof-silosof besar diantaranya
Francis Bacon, William James, Kierkegoor dan lain-lain.
Menurut
filosof Islam Jamaluddin Alafghoni, bahwa iman kepada Allah menumbuhkan keteguhan
pendirian dalam menghadapi kesulitan dan bahaya, bahkan mampu untuk membentuk
kerelaan dan meninggalkan kemewahan hidup, manakala ada seruan untuk bejuang
dijalan Allah. Keteguhan pendirian tersebut menjadikan kekuatan yang sangat
teguh walaupun bahtera kehidupannya terombang ambing oleh ombak dari segala
penjuru. Kekuatan tersebut sekalipun merupakan pendirian setiap individu, namun
menjadi kekuatan masyarakat dan bangsa. Pemikiran Jamaluddin ini sejalan dengan
kepercayaan filosof Plato, bahwa suatu bangsa tidak dapat menjadi kuat, kecuali
bila ia percaya kepada Tuhan, sekedar kekuatan alam atau sebab pertama yang
tidak berupa person, jarang sekali dapat berhasil mengilhamkan harapan,
pengabdian atau pengorbanan. Akan tetapi Tuhan yang hidup dapat berbuat semua
ini. Kedua pemikiran tersebut menunjukkan, bahwa peranan iman adalah
menumbuhkan kekuatan pendirian.
Telah
disepakati oleh semua ilmuan, bahwa manusia adalah makhluk sosial tidak mungkin
terlaksana tanpa dukungan kerjasama anggota masyarakat. Kerjasama tidak akan
langgeng tanpa adanya aturan atau hukum atau undang-undang yang mengatur
hubungan untuk mematuhi hak dan kewajiban masing-masing anggota masyarakat.
Untuk merealisasinya sangat membutuhkan pendukung atau kekuatan. Kekuatan
pemerintah hanya dapat mencegah pelanggaran yang nyata dan dapat dibuktikan.
Sedangkan para hakim yang berstatus penegak hukum sering dikuasai oleh hawa
nafsunya. Maka untuk menghadapi kejahatan atau kekejaman yang terselubung
membutuhkan kekuatan yang mampu mengendalikan nilai hukum dan norma-norma
luhur. Hampir semua ahli-ahli agama mengakui, bahwa iman dan taqwa berperan sebagai
kekuatan pengeandali hawa nafsu untuk menegakkan norma dan nilai tersebut.
Orang
yang beriman kepada Allah mempunyai rasa atau kesadaran tentang kelemahan dan
kekurangannya. Kelemahan dan kekurangannya ini dapat menimbulkan sifat menyerah
kepada Allah yang diimani. Hal ini Islam mengakui berdasarkan wahyunya, menurut
Th. Steinbuchel, bahwa dalam kepercayaan kepada Tuhan, manusia mempunyai rasa
hormat dan menyerah dengan percaya. Dalam Islam pengaruh iman diantaranya rasa
tawakkal (Ali Imron: 160). Tawakkal dalam tinjauan tasawuf ini harus seiring
dengan kesabaran. Keberhasilan manusia tidak mungkin sepenuhnya dari usaha
sendiri. Sedangkan kecil dan tidaknya ditentukan oleh berbagai faktor diluar
kemampuannya. Faktor-faktor itu adalah sebab keberhasilan. Banyak akibat yang
sebabnya bermacam-macam dan sebaliknya, banyak sebab yang akibatnya
bermacam-macam. Banyak akibat yang sulit diketahui sebabnya dan banyak sebab
yang sulit diketahui akibatnya. Dalam situasi diatas sikap tawakkal sangat
diperlukan. Iman yang kuat mempunyai peran untuk menimbulkan tawakkal. Dari
sini manusia akan mengetahui hakekat usahanya.
Orang
beriman mempunyai tekat untuk berbuat baik. Kalau kita pinjam istilah filosof
dari Max Scheler ialah Wollen de Tuns (Niat untuk berbuat). Kalau kita menukil
istilah wahyu adalah `azam atau iradatun jaazimatun (kehendak yang sudah
pasti). Oleh Max Scheler dinyatakan, bahwa kesiapan yang fundamental ini
disebut tekad, sebab di dalamnya terdapat keberanian dan tanggung jawab. Memang
menegakkan norma yang luhur itu membutuhkan keberanian. Menurut ajaran wahyu
disebut tekat menegakkan yang haq itu bukan didorong oleh hawa nafsu,
kepentingan pribadi dan golongan, akan tetapi didorong oleh pikiran yang suci
yang tumbuh berkat kekuatan iman. Karena itu mereka tidak takut menghadapi
penegak-penegak kebathilan, karena yakin, bahwa pelindungnya adalah Allah.
Manusia
menurut pandangan Max Scheler memiliki tiga suasana (sphare), yaitu suasana
keindraan, suasana vital dan suasana rohani. Dengan tiga suasana
ini maka dapat dibedakan tiga macam peranan (gepuhle). Perasaan keindraan
adalah rasa seperti enak, pahit dan semacamnya. Rasa vital ada dua cabang
yaitu, rasa kehidupan jasmani (lebengepuhle) seperti lelah dan segar bugar, dan
rasa kejiwaan (seeliche-gepuhle) seperti apabila orang yang berkata bingung,
aku sedih dan aku susah. Kemudian yang ketiga adalah rasa rohani, misalnya
bahagia dan damai. Disini badan tidak tersangkut. Orang yang sedang sedang
menderita tubuhnya bisa juga merasa bahagia. Diantara tiga nilai diatas nilai
rohani lebih atas. Sedangkan Allah menurut Scheler sebagai Maha Nilai. Baginya
menyerah kepada Allah tidak kehilangan nilai, melainkan bertambahnya nilainya.
Menurut ajaran wahyu orang mu`min yang sebenarnya ialah orang cinta
tertingginya diarahkan kepada Allah. Bahkan menurut wahyu manusia diancam oleh
Allah manakala cintanya kepada Allah tidak diatas segala macam cinta. Cinta
yang tinggi ini menjadi dasar semua cinta kita. Manakala manusia beriman salah
satu jenis kecintaannya gagal atau tidak terpenuhi, maka tidak akan merusak
kebahagiaan hidup asal cinta tertingginya tetap bercokol. Uraian diatas dapat
dirumuskan, bahwa iman yang kokoh berperan menumbuhkan rasa cinta kepada Allah
dan sekaligus berperan menumbuhkan kebahagiaan hidup.
Uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa peran iman, diantaranya
menghilangkan gangguan jiwa, menumbuhkan
keteguahan pendirian, menumbuhkan kekuatan pengendali hawa nafsu, menumbuhkan
tawakkal, menciptakan tekat berbuat baik dan berperan menciptakan rasa cinta
dan bahagia.
Enam macam peranan tersebut hanya merupakan peranan yang asasi secara
minim akan tumbuh pada orang-orang yang benar-benar beriman. Totalitas peranan
tersebut secara integral dapat menumbuhkan
ketaqwaan dalam kehidupan manusia, baik sebagai makhluk individual
maupun koletif. Sedangkan gambaran rinci tentang proses peranan iman yang
menumbuhkan ketaqwaan sebagai berikut, yaitu gambaran singkat sebagai
perspektif filsafat agama terhadap iman dan taqwa.
Manusia adalah makhluk yang membutuhkan keselamatan, bukan untuk sekedar
beberapa tahun, namun untuk selama-lamanya. Bukan keselamatan fisik berupa
kesehatan saja, namun juga keselamatan rohani berupa ketenangan jiwa. Disini
iman berperan untuk melenyapkan semua gangguan jiwa. Lebih dari pada itu ia
juga membutuhkan keselamatan dalam arti yang tinggi. Keselamatan dalam artian
ini menurut wahyu adalah kebahagiaan didunia dan di alam baka.dalam hal ini
dibutuhkan peranan iman berupa menciptakan tekat berbuat baik bersama-sama
peranan iman yang lain yang berfungsi secara integral. Keberhasilan keselamatan
manusia tidak berkat usaha sendiri, namun masih tergantung dengan lainnya,
karena realitasnya dia sebagai suatu titik yang kecil terletak dalam suatu
kosmos yang maha besar dan tidak terhingga. Bahkan dalam kemerdekaannya dia
masih terikat. Oleh karena itu dia membutuhkan dukungan sesamanya dan dukungan
lingkungan. Tetapi ternyata tidak semuanya mendukung, bahkan menjadi penghambat
dan perintang, karena masing-masing mempunyai keinginan dan kemampuan yang
berbeda. Peranan iman berupa tumbuhnya keteguhan pendirian dan kekuatan
pengendalian hawa nafsu mutlak dibutuhkan. Sudah barang tentu tidak semua
keselamatan berhasil dengan memuaskan bahkan sering terjadi kegagalan. Dalam
situasi ini tidak akan terjadi keputusasaan sebab sifat iman yang sebenarnya
berperan menumbuhkan sifat tawakkal. Baik berhasil maupun gagal tetap bersyukur
sebab iman yang sesungguhnya menumbuhkan rasa cinta dan bahagia dalam situasi
apapun. Demikian gambaran proses integral peranan-peranan iman yang mampu
menumbuhkan ketaqwaan yang didambakan oleh kejayaan bangsa dan negara.
2.3 Pengaruh kekuatan iman terhadap kehidupan
individu dan masyarakat
Sebagaimana
peranan iman yang jumlahnya sulit dihitung demikian juga pengaruhnya, di mana
yang tidak diketahui lebih banyak. Lebih sulit lagi apabila dianalisis pengaruh iman terhadap hal-hal
bersifat metafisik.
William James, seorang guru
besar dalam ilmu filsafat di Harvard University berpendapat, bahwa pengaruh
keimanan menumbuhkan keberanian, semangat, berpengharapan, menghilangkan
perasaan takut serta keluh kesah, memberikan perbekalan hidup yang berupa
cita-cita dan tujuan hidup, menimbulkan di hadapannya lapangan kebahagiaan dan
alam subur di tengah-tengah gurun kehidupan.
Dr. Paul Erneet Adolf seorang
guru besar pada Universitas Saint Jones dan anggota himpunan ahli bedah Amerika
berpendapat bahwa ilmu kedokterran dan ilmu kepercayaaan kepada Allah SWT
keduanya patut menjadi landasan untuk membangun filsafat modern.
Sebenarnya banyak sekali
filosof-filosof dan cendekiawan yang mengakui adanya pengaruh positif dari
iman, misalnya Max Scheler, filosof Jerman, Karl filosof Jerman, Karl ospers
seorang filosof eksistensialisme, J. Kant filosof dari Rusia yang terkenal
dengan teorinya kopernikan ke subyek dan filosof-filosof lain yang terkenal.
Pemikiran para filosof dan cendekiawan tersebut pada umumnya tidak secara jelas
diterangkan proses terjadinya pengaruh tersebut, sehingga sulit untuk diterima
oleh ahli-ahli pikir lainnya.
Misalnya watak dasar manusia
adalah egoisme. Watak inilah yang sering menimbulkan permusuhan, perampasan hak
orang lain, penguasaan dan lain sebagainya. Namun iman yang mengandung ajaran
sosial dan susila mampu menumbuhkan perdamaian dan kedamaian di tengah-tengah
kehidupan yang saling bermusuhan.
Dalam wahyu ditetapkan, bahwa
manusia itu mempunyai kecenderungan keduniaan tanpa suatu pedoman dan batas
merupakan biang pokok timbulnya kerusakan masyarakat. Namun disamping itu
keimanan mampu mengendalikan dan menolak kecenderungan itu, karena iman
mengandung ajaran tentang batas diperbolehkannya mencintai keduniaan, yaitu
selama tidak menimbulkan kerusakan dan bahaya bagi kehidupan masyarakat.
Sejak dahulu kala sampai
sekarang, khususnya dalam era globalisasi banyak sekali kegiatan-kegiatan
negatif yang tejadi di suatu Negara. Pemerintah dengan undang-undangnya dan
hukuman terpaksa mundur dan tidak mampu menyelesaikan kebiasaan negatif
tersebut. Ternyata kekuatan iman yang memiliki pengaruh melumpuhkan kebiasaan
yang tidak dapat dihadapi oleh kekuasaan dan kekuatan lahir.
Pengaruh kekuatan iman
melahirkan akhlak dan moral yang luhur dalam kehidupan manusia, seperti jujur,
adil dalam segala situasi, diucapkan kebenaran walaupun terasa sangat berat,
ditegakkan kebenaran sekalipun berakibat merugikan dirinya dan keluarganya,
bersikap adil terhadap lawan sebagaimana bersikap adil di tengah-tengah kawan,
masih banyak lagi norma-norma luhur yang dicetuskan oleh kekuatan iman. Oleh
karena sangat patut sekali apabila dinyatakan bahawa iman dan taqwa adalah
kunci pengalaman nilai-nilai luhur.
Dengan kunci iman yang
menentukan damai atau perang, aman atau kacau, hidup atau mati, tentram atau
gelisah, mujur atau malang,
kuat atau lemah, halal atau haram, dan sebagainya. Oleh karena itu kepercayaan
tentang keesaan Tuhan tidak saja merupakan akibat dai terutusnya nabi Muhammad
saw, tapi juga menjadi akibat pokok dan dasar terutusnya nabi-nabi semuanya.
Perubahan jiwa seseorang atau
masyarakat merupakan suatu reformasi dalam pandang filsafat. Setiap pembangunan
dan kebangkitan umat dalam situasi apapun harus sejalan dengan reformasi jiwa
tersebut. Apabila tidak sejalan maka usaha pembangunan dan kebangkitan umat itu
hanya berupa rencana atau program semata-mata.
Reformasi jiwa bukanlah suatu hal yang ringan
dilakukan, tetapi merupakan suatu hal yang berat dan sulit, sebab manusia
merupakan makhluk yang dalam dirinya bertemu secara integral semua sifat-sifat,
baik positif maupun negatif yang memerlukan media yang mampu sebagai mekanisme
spiritual yang menormalisir sifat-sifat yang paradok itu. Oleh karena itu wajar
perubahan jiwa manusia termasuk usaha yang sangat berat, membendung aliran air
yang dahsyat dan mengubah arah alirannya, membuat terowongan tanah dibawah laut
merupakan pekerjaan yang lebih ringan daripada usaha mengubah jiwa dan
pandangan hidup.
Tetapi ternyata dalam pengalaman
sejarah pengaruh kekuatan iman yang mampu menciptakan perubahan jiwa manusia
dan menjadikan manusia dalam bentuk baru, sehingga berubah juga pandangan
hidupnya di dua masa, yaitu masa di dalam keadaan kafir dan masa di dalam
keaadaan beriman, maka jelaslah bahwa dalam masa kedua itu bukan lagi seperti
dalam masa pertama, sekalipun nama dan bentuk tubuhnya berubah.
Kadang pengaruh iman terhadap seseorang
terjadi secara drastis, tanpa memandang umur dan tingkat penghidupan. Sering
pengaruh tersebut bertentangan dengan teori para psikolog, dimana mereka
menetapkan teorinya, bahwa keberhasilan pendidikan terikat oleh masa-masa
tertentu. Hal ini berbeda dengan pengaruh iman, apabila iman telah tertanam
dalam jiwa seseorang, maka iman tersebut mampu mengubah jiwa dan pandangan
hidup. Semuanya itu tidak terbatas pada masa-masa tertentu, baik masa remaja,
dan masa dewasa maupun tua.
Pengaruh iman terhadap jiwa bukan suatu hal yang diragukan sebagaimana
dapat disaksikan pada fakta sejarah bangsa arab. Pengaruh iman terhadap
perubahan jiwa tidak hanya terjadi pada kehidupan masyarakat dan bangsa, namun
juga terjadi terhadap individu, baik pria maupun wanita, seperti terjadi pada
seorang laki-laki bernama Umar bin Khattab dan seorang wanita bernama Khansa`.
Ternyata pribadi keduanya sebelum dan sesudah beriman jauh berbeda. Berkat
pengaruh iman keduanya menjadi hamba Allah yang penuh taqwa dalam segala
situasi dan kondisi.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Iman dan taqwa bukan merupakan
kesatuan yang utuh, akan tetapi antara keduanya merupakan dua pengetahuan yang
mempunyai hubungan yang erat sekali. Tinggi rendahnya nilai keimanan
berpengaruh besar terhadap tinggi rendahnya nilai ketaqwaan. Sedangkan tinggi
rendahnya nilai ketaqwaan sebagai bukti nilai kebenaran nilai iman yang
dimiliki.
Peran iman, diantaranya menghilangkan gangguan jiwa, menumbuhkan keteguhan
pendirian, menumbuhkan kekuatan pengendali hawa nafsu, menumbuhkan tawakkal,
menciptakan tekat berbuat baik dan berperan menciptakan rasa cinta dan bahagia.
Pengaruh kekuatan iman
melahirkan akhlak dan moral yang luhur dalam kehidupan manusia, seperti jujur,
adil dalam segala situasi, diucapkan kebenaran walaupun terasa sangat berat,
ditegakkan kebenaran sekalipun berakibat merugikan dirinya dan keluarganya,
bersikap adil terhadap lawan sebagaimana bersikap adil di tengah-tengah kawan,
masih banyak lagi norma-norma luhur yang dicetuskan oleh kekuatan iman. Oleh
karena sangat patut sekali apabila dinyatakan bahawa iman dan taqwa adalah
kunci pengalaman nilai-nilai luhur.
3.2 Saran
Kita hendaknya selalu beriman kepada Allah karena iman itu dapat membentuk masyarakat yang bertaqwa.
No comments:
Post a Comment