Monday, 22 July 2013

Iman dan Taqwa Dalam Perspektif Filsafat


BAB I
PENDAHULUAN
1.1   Latar Belakang
Iman dan Taqwa adalah dua unsur agamis yang esensiil dari suatu agama dan tidak mungkin terlepas dari pembahasan filsafat, khususnya filsafat agama yaitu membahas masalah agama dari segi filsafat.
Filsafat agama dalam pandangan berbagai filosof bukanlah pembahasan filsafat secara bebas, tetapi ia membahas agama dari segi aspek filsafat dengan titik tolak yang tertentu. Karena agama itu bermacam-macam pedoman dan landasannya, maka sudah barang tentu landasan yang dipergunakan sebagai titik tolak pembahasan makalah ini adalah ajaran Islam.
Landasan berfilsafat adalah akal bukan wahyu, oleh karena itu dalam sejarah filsafat terdapat filosof yang beriman dan ada pula filosof yang kufur yang hanya percaya pada pengetahuan indra yang didukung oleh akal, terutama filosof yang beraliran meterialistisme.
Sebenarnya antara berfikir filosofis dan berfikir religius mempunyai titik mulai yang sama, keduanya mulai dengan percaya. Dalam filsafat dimulai dengan percaya pada kemampuan akal, sedangkan dalam agama dimulai dengan percaya pada ketetapan wahyu. Menurut agama Islam, Iman diartikan secara sederhana adalah kepercayaan, sedangkan dalam filsafat agama, Iman tersebut dipahami secara radikal.
Plato sering menyebut Tuhan dengan kata (The Good), yaitu Tuhan yang baik, tetapi dia tidak pernah menyebut Tuhan yang hidup (The Live). Bagi Aristoteles, bahwa kepercayaan terhadap adanya Tuhan adalah kepecayaan kepada adanya zat yang memberi arti kepada alam, tetapi Tuhan yang tidak dapat kita hubungi, artinya bukan Tuhan yang dapat kita sembah dan kita mintai. Tuhan menurut Aristoteles merupakan it bukan he. Tuhan menurut kepercayaan agama greek adalah Tuhan yang dianggap mempunyai hubungan dengan masalah kerohanian atau suatu kekuatan dalam dunia spiritual. Kita sedikit agak setuju Tuhan seperti yang dikemukakan Pascal, yaitu Tuhannya Nabi Ibrahim, Nabi Ishak, Nabi Ya`qub, sebab Tuhan ditambah predikat Nabi-Nabi yang diakui oleh agama Islam, sekalipun sifat-sifat Tuhan tidak disebutkan. Tuhan yang dibahas dalam tulisan ini adalah Tuhan yang diberi predikat 99 asma`ul husna.
Iman dan taqwa dalam judul diatas bukan merupakan kesatuan yang utuh, akan tetapi antara keduanya merupakan dua pengetahuan yang mempunyai hubungan yang erat sekali. Tinggi rendahnya nilai keimanan berpengaruh besar terhadap tinggi rendahnya nilai ketaqwaan. Sedangkan tinggi rendahnya nilai ketaqwaan sebagai bukti nilai kebenaran nilai Iman yang dimiliki. Oleh karena itu makalah ini perlu sekali terlebih dahulu membahas pengertian iman dan taqwa serta hubungan antara keduanya.
Setiap lubuk hati manusia tidak boleh kosong dari potensi kepercayaan. Usaha filosof untuk menjelaskan seluruh kenyataan secara tuntas ternyata masih ada sesuatu sisa yang tidak dapat dijelaskan yang berperan besar terhadap kehidupan manusia. Sisa ini oleh Herbert Spencer diberi istilah The great of imknowable yang harus diterima dengan sikap percaya atau tidak percaya. Bahkan dalam kehidupan manusia sering dihadapkan dengan sesuatu misteri yang tersembunyi dibalik gejala-gejala, bahwa dibalik segala sesuatu yang terpaksa harus dipercaya. Hal ini mendorong untuk dibahas secara radikal oleh berbagai filosof yang tekun dengan filsafatnya. Oleh karena itu dari sisi ini perlu dibahas tentang peran iman dalam meningkatkan amal ketaqwaan.
Dalam agama Islam, iman mempunyai peran dan pengaruh yang besar terhadap penghidupan manusia di alam semesta ini, baik dalam segi hubungannya dengan  Tuhan dan dan sesama manusia maupun hubungannya dengan alam fisika dan metafisika. Wilian James seorang filosof kelahiran New York dengan teori dogmatisnya telah membahas masalah-masalah agama, khususnya tentang iman kepada Allah. James tidak mempersoalkan tentang kebenaran kepercayaan-kepercayaan dalam agama, tetapi yang dipersoalkan adalah hasil menjadikan agama sebagai pedoman hidup. Baginya kalau kepercayaan atau ide-ide agama itu memperkaya hidup maka itu adalah benar. Kalau ada anggapan yang dapat menjadi dasar suatu hidup yang baik, maka sebaiknya percaya terhadap  anggapan itu. Kalau harus memilih antara anggapan yang berbeda maka harus berfikir dari titik akhir. Perspektif tentang manusia dan dunia dengan Allah menggambarkan masa depan yang lebih baik dan sesuai dengan keinginan kita dari pada perspektif tanpa Allah. Perspektif pertama lebih berguna, maka lebih benar. Dari sisi ini maka perlu dibahas pengaruh iman terhadap kehidupan manusia.

1.2   Rumusan Masalah
1.2.1        Bagaimanakah iman dan taqwa serta hubungan antara keduanya?
1.2.2        Bagaimanakah peranan iman dalam membentuk ketaqwaan?
1.2.3        Bagaimanakah pengaruh kekuatan iman terhadap kehidupan individu dan masyarakat?

1.3   Rumusan Tujuan
1.3.1        Menjelaskan iman dan taqwa serta hubungan antara keduanya
1.3.2        Menjelaskan peranan iman dalam membentuk ketaqwaan
1.3.3        Menjelaskan pengaruh kekuatan iman terhadap kehidupan individu dan masyarakat



1.4  Manfaat
1.4.1 Manfaat Teoritis
                           Kita dapat mengetahui dengan lebih mendalam segala hal yang berkaitan dengan Iman dan Taqwa Dalam Perspektif Islam.
1.4.2        Manfaat Praktis
                                    Dapat menerapkan pengetahuan yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari baik di lingkungan sekolah, keluarga, maupun dalam kehidupan bermasyarakat.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1   Iman dan taqwa serta hubungan antara keduanya
Iman dan taqwa adalah dua unsur pokok bagi pemeluk agama. Keduanya merupakan elemen yang penting dalam kehidupan makhluk manusia dan sangat erat hubungannya dalam menentukan nasib hidupnya serta memiliki fungsi yang urgen.
Menurut ahli hukum, iman itu hanya sekedar pengakuan suatu makna yang terkandung dalam lubuk hati, menurut para teolog, iman itu adalah kepercayaan yang tertanam dalam lubuk hati dengan keyakinan yang kuat tanpa tercampuri oleh keraguan dan berperan terhadap pendangan hidup atau amal perbuatan sehari-hari. Sedangkan menurut berbagai filosof, iman diartikan lebih jauh dari lafidz dan makna serta tidak terikat dengan dalil-dalil apologis. Misalnya Karl Teodor Yoeper seorang filosof Jerman mengetengahkan istilah iman falsafi yang universil yang berlaku untuk semua zaman dan kebudayaan. Isi iman falsafi baginya, bahwa Allah itu ada, manusia harus mampu memilih yang baik secara tak bersarat, dunia tidak merupakan kenyataan terakhir dan bahwa cinta kasih manusia merupakan suatu bukti adanya Allah. Semua pengertian-pengertian yang dikemukakan diatas pada dasarnya menunjukkan, bahwa iman itu berperanan dan berpengaruh terhadap tingkah laku manusia dalam segala aspek kahidupan manusia.
Menurut filosof Islam Imam Ghozali bahwa iman itu berkaitan dengan  hal-hal yang bersifat spiritual atau batin, di mana hati dapat menangkap iman dalam pengertian hakiki melalui kasyaf yang diperoleh berkat pancaran sinar Ilahi padanya. Dalam kesempatan lain beliau menegaskan, bahwa arti iman adalah pengakuan yang kuat tidak ada pembuat (faa`il) selain Allah. Makna iman yang dikemukakan ini menimbulkan problema metafisis, diantaranya membatasi sebab pembuat (illah faa`iliyah) hanya kepada Allah, menafikan kebebasan berikhtiar dari manusia serta penyerahan diri (tawakkal) kepada-Nya. Pemikiran Imam Ghozali ini disebut dengan istilah tauhid, sebab artinya keimanan itu tidak boleh menghubungkan sebab tersebut kepada selain Allah. Dialah pembuat satu-satunya dan selain-Nya hanya sekedar washilah (perantara). Hukumnya perantara itu dalam tinjauan filsafat juga sebab, namun sebab pokok.
Bagi Imam Ghozali iman itu bukan lawan dari syirik, tetapi peng-Esaan kepada Kholiq (Pencipta). Oleh karena itu, bagi orang yang meng-Esakan Allah harus bersikap tawakkal. Tawakkal bukan berarti maniadakan ikhtiar, tetapi maniadakan kebebasan berikhtiar, karena dalam tawakkal manusia berkesempatan untuk kasab (berusaha). Bahkan dengan tawakkal itu dapat mengenal hakekat ikhtiar dan sekaligus dapat mengetahui nilai dan kualitas iman. Iman yang sebenarnya harus membuahkan tawakkal, sehingga dapat memperoleh ridho Allah. Dalam kitab suci dikemukakan, bahwa Nabi Hud, Nabi Musa dan yang lainya telah menjadikan tawakkal sebagai benteng kekuatan bertaqwa dalam menghadapi kaumnya. Ini semua menunjukkan, bahwa antara iman dan taqwa saling berpengaruh dalam membentuk manusia berkepribadian luhur.
Iman menurut pemikiran Imam Ghozali diatas mengandung implikasi yang sangat luas. Diantaranya sekaligus sebagai garis pemisah terhadap pandangan orang yang mengingkari wujud dibalik materi, menolak dengan tegas faham polotisme, atheisme, animisme, dan lainnya. Penafsiran sebab tauhid sebagaimana yang telah diterangkan oleh Imam Ghozali tidak dapat disamakan dengan penafsiran sebab yang dengan dikemukakan oleh Aristoteles, sebab Aristoteles tidak bermaksud dengan konsepnya itu menafikan sebab material. Gerak alam ini dipandang olehnya sebagai gerak tujuan (illah ghoyah) yaitu Tuhan adalah tujuan yang menjadi arah gerak alam, sedangkan Imam Ghozali menafsirkan Allah penggerak satu-satunya. Dialah pencipta segala sesuatu, pencipta absolut sebagaimana ditegaskan  oleh wahyu-Nya.
Pada umumnya pada filosof yang tidak mengenal ide-ide agama, maka dalam filsafat ketuhanan perlu berpendirian, bahwa permulaan alam hanya sebagai pengatur dan penyusun materia in prima (materi pertama) sebagai Tuhan sendiri. Pengertian pengatur dan penyusun lebih menunjukkan keterampilan daripada pencipta. Pendirian mereka menjadikan wujud keseluruhannya tersusun dari sebab akibat. Tuhan dan materi tunduk di bawah hukum kemestian (nesessity).
Jadi kenyataan isi dari iman antara filosof murni dengan filosof yang mengakui ide-ide agama, khususnya Islam jauh berbeda, sehingga konsekuensinya dalam pembentukan kepribadian luhur dan pola pikir dalam mengarungi kehidupan ditengah-tengah masyarakat akan terjadi perbedaan juga. Disini tampak dengan jelas, bahwa sila pertama dari Pancasila sebagai asas tunggal bermasyarakat dan bernegara tidak sama dengan kepercayaan para filosof yang tidak mengenal agama dalam mempercayai keberadaan Tuhan. Tuhan dalam Pancasila adalah Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta alam semesta, Penagsih, Penyayang, dan sebagainya seperti dijelaskan oleh ajaran agama khususnya ajaran Islam. Pemikiran ketuhanan yang terkandung dalam Pancasila ternyata berpengaruh besar dalam merumuskan Tujuan Pendidikan Nasional, Pedoman Pengahayatan dan Pengamalan Pancasila dan aturan-aturan yang lain di Negara kita yang hampir kesemuanya mengandung norma-norma luhur.
Filosof-filosof Islam, baik Mu`tazilah maupun Ahli Sunnah berpendapat bahwa hukum beriman kepada Allah adalah wajib karena iman itu dapat diharapkan terbentuk masyarakat yang bertaqwa. Mereka berselisih tentang dasar terjadinya kewajiban itu dari agama, sebab akal tidak mengenal hukum wajib. Akal hanya mengenal tepat dan tidak tepat, sesuai dan tidak sesuai, benar dan salah. Abu Mansur Maturidi dan pemikir Ahli Sunnah memberikan penyelesaian kontradiksi tersebut dengan penegasannya bahwa dasar kewajiban beriman itu dari agama dan dapat difahami kebenarannya oleh akal.
Taqwa itu pada prinsipnya adalah amal batin atau lahir, baik yang bersifat mengikuti perintah Tuhan maupun amal yang berbentuk menjauhi larangan Tuhan. Yang menjadi problema apakah unsur amal itu menjadi syarat iman, dengan pengertian, bahwa apakah tanpa amal seseorang tidak dianggap beriman.
Mayoritas ahli pikir Mu`tazilah dan Khowarij berpendirian, bahwa amal adalah rukun iman. Iman seseorang tidak dapat diterima tanpa amal. Tetapi menurut ahli pikir Ahli Sunnah, bahwa amal bukan sebagian rukun iman dengan alasan, bahwa apabila amal termasuk rukun iman berarti Iman dan Islam merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah, sedangkan berdasar penjelasan Hadist antara keduanya berlainan, dimana Jibril bertanya kepada Nabi Muhammad SAW tentang apa rukun Iman dan rukun Islam. Masing-masing dijawab dengan jawaban yang berbeda. Bagi ahli pikir Ahli Sunnah kalimat “Alladzina Amanu” memang selalu diikuti kalimat “wa amilush sholihat” ini menurut analisa bahasa bahkan menunjukkan perbedaan. Artinya iman itu bukan amal dan amal itu bukan iman. Hal ini sama dengan kalau orang yang makan telah pergi. Ini menunjukkan, bahwa berkata itu bukan makan dan makan itu bukan berkata. Tetapi ahli pikir Ahli Sunnah mengakui bahwa antara keduanya mempunyai pengaruh yang erat sekali. Apabila antara dua pendapat tersebut diatas dikomparasikan maka pendapat ahli pikir Ahli Sunnah lebih kuat argumentasinya. Sebab manakala amal itu termasuk rukun  iman dan iman tidak diterima tanpa amal sholeh, maka alangkah sedikitnya orang-orang yang masuk surga. Dalam pada itu dikemukakan oleh suatu hadits, bahwa “akan keluar dari neraka siapa saja yang didalam lubuk hatinya terdapat sedikit dari iman”. Hadits ini menunjukkan orang yang beriman tanpa amal bagaimanapun akan masuk surga sekalipun sangat lama sekali merasakan neraka.

2.2   Peranan Iman dalam membentuk amal ketaqwaan
Peranan iman tidak dapat terhitung jumlahnya. Yang tidak diketahui lebih banyak dari pada yang diketahui. Bahkan peranannya dalam dunia metafisika sedikit sekali yang dapat dijelasakan.
Iman adalah sesuatu yang tersembunyi dalam jiwa (Ma waqaro fil qalbi). Berdasarkan eksperimen sebagian besar ahli jiwa berkesimpulan, bahwa iman kepada Allah termasuk obat yang manjur untuk menyembuhkan penyakit jiwa atau menghilangkan gangguan jiwa. Kesimpulan ini diperkuat oleh filosof-silosof besar diantaranya Francis Bacon, William James, Kierkegoor dan lain-lain.
Menurut filosof Islam Jamaluddin Alafghoni, bahwa iman kepada Allah menumbuhkan keteguhan pendirian dalam menghadapi kesulitan dan bahaya, bahkan mampu untuk membentuk kerelaan dan meninggalkan kemewahan hidup, manakala ada seruan untuk bejuang dijalan Allah. Keteguhan pendirian tersebut menjadikan kekuatan yang sangat teguh walaupun bahtera kehidupannya terombang ambing oleh ombak dari segala penjuru. Kekuatan tersebut sekalipun merupakan pendirian setiap individu, namun menjadi kekuatan masyarakat dan bangsa. Pemikiran Jamaluddin ini sejalan dengan kepercayaan filosof Plato, bahwa suatu bangsa tidak dapat menjadi kuat, kecuali bila ia percaya kepada Tuhan, sekedar kekuatan alam atau sebab pertama yang tidak berupa person, jarang sekali dapat berhasil mengilhamkan harapan, pengabdian atau pengorbanan. Akan tetapi Tuhan yang hidup dapat berbuat semua ini. Kedua pemikiran tersebut menunjukkan, bahwa peranan iman adalah menumbuhkan kekuatan pendirian.
Telah disepakati oleh semua ilmuan, bahwa manusia adalah makhluk sosial tidak mungkin terlaksana tanpa dukungan kerjasama anggota masyarakat. Kerjasama tidak akan langgeng tanpa adanya aturan atau hukum atau undang-undang yang mengatur hubungan untuk mematuhi hak dan kewajiban masing-masing anggota masyarakat. Untuk merealisasinya sangat membutuhkan pendukung atau kekuatan. Kekuatan pemerintah hanya dapat mencegah pelanggaran yang nyata dan dapat dibuktikan. Sedangkan para hakim yang berstatus penegak hukum sering dikuasai oleh hawa nafsunya. Maka untuk menghadapi kejahatan atau kekejaman yang terselubung membutuhkan kekuatan yang mampu mengendalikan nilai hukum dan norma-norma luhur. Hampir semua ahli-ahli agama mengakui, bahwa iman dan taqwa berperan sebagai kekuatan pengeandali hawa nafsu untuk menegakkan  norma dan nilai tersebut.
Orang yang beriman kepada Allah mempunyai rasa atau kesadaran tentang kelemahan dan kekurangannya. Kelemahan dan kekurangannya ini dapat menimbulkan sifat menyerah kepada Allah yang diimani. Hal ini Islam mengakui berdasarkan wahyunya, menurut Th. Steinbuchel, bahwa dalam kepercayaan kepada Tuhan, manusia mempunyai rasa hormat dan menyerah dengan percaya. Dalam Islam pengaruh iman diantaranya rasa tawakkal (Ali Imron: 160). Tawakkal dalam tinjauan tasawuf ini harus seiring dengan kesabaran. Keberhasilan manusia tidak mungkin sepenuhnya dari usaha sendiri. Sedangkan kecil dan tidaknya ditentukan oleh berbagai faktor diluar kemampuannya. Faktor-faktor itu adalah sebab keberhasilan. Banyak akibat yang sebabnya bermacam-macam dan sebaliknya, banyak sebab yang akibatnya bermacam-macam. Banyak akibat yang sulit diketahui sebabnya dan banyak sebab yang sulit diketahui akibatnya. Dalam situasi diatas sikap tawakkal sangat diperlukan. Iman yang kuat mempunyai peran untuk menimbulkan tawakkal. Dari sini manusia akan mengetahui hakekat usahanya.
Orang beriman mempunyai tekat untuk berbuat baik. Kalau kita pinjam istilah filosof dari Max Scheler ialah Wollen de Tuns (Niat untuk berbuat). Kalau kita menukil istilah wahyu adalah `azam atau iradatun jaazimatun (kehendak yang sudah pasti). Oleh Max Scheler dinyatakan, bahwa kesiapan yang fundamental ini disebut tekad, sebab di dalamnya terdapat keberanian dan tanggung jawab. Memang menegakkan norma yang luhur itu membutuhkan keberanian. Menurut ajaran wahyu disebut tekat menegakkan yang haq itu bukan didorong oleh hawa nafsu, kepentingan pribadi dan golongan, akan tetapi didorong oleh pikiran yang suci yang tumbuh berkat kekuatan iman. Karena itu mereka tidak takut menghadapi penegak-penegak kebathilan, karena yakin, bahwa pelindungnya adalah Allah.
Manusia menurut pandangan Max Scheler memiliki tiga suasana (sphare), yaitu suasana keindraan, suasana vital dan suasana rohani. Dengan tiga suasana ini maka dapat dibedakan tiga macam peranan (gepuhle). Perasaan keindraan adalah rasa seperti enak, pahit dan semacamnya. Rasa vital ada dua cabang yaitu, rasa kehidupan jasmani (lebengepuhle) seperti lelah dan segar bugar, dan rasa kejiwaan (seeliche-gepuhle) seperti apabila orang yang berkata bingung, aku sedih dan aku susah. Kemudian yang ketiga adalah rasa rohani, misalnya bahagia dan damai. Disini badan tidak tersangkut. Orang yang sedang sedang menderita tubuhnya bisa juga merasa bahagia. Diantara tiga nilai diatas nilai rohani lebih atas. Sedangkan Allah menurut Scheler sebagai Maha Nilai. Baginya menyerah kepada Allah tidak kehilangan nilai, melainkan bertambahnya nilainya.
Menurut ajaran wahyu orang mu`min yang sebenarnya ialah orang cinta tertingginya diarahkan kepada Allah. Bahkan menurut wahyu manusia diancam oleh Allah manakala cintanya kepada Allah tidak diatas segala macam cinta. Cinta yang tinggi ini menjadi dasar semua cinta kita. Manakala manusia beriman salah satu jenis kecintaannya gagal atau tidak terpenuhi, maka tidak akan merusak kebahagiaan hidup asal cinta tertingginya tetap bercokol. Uraian diatas dapat dirumuskan, bahwa iman yang kokoh berperan menumbuhkan rasa cinta kepada Allah dan sekaligus berperan menumbuhkan kebahagiaan hidup.
Uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa peran iman, diantaranya menghilangkan  gangguan jiwa, menumbuhkan keteguahan pendirian, menumbuhkan kekuatan pengendali hawa nafsu, menumbuhkan tawakkal, menciptakan tekat berbuat baik dan berperan menciptakan rasa cinta dan bahagia.
Enam macam peranan tersebut hanya merupakan peranan yang asasi secara minim akan tumbuh pada orang-orang yang benar-benar beriman. Totalitas peranan tersebut secara integral dapat menumbuhkan  ketaqwaan dalam kehidupan manusia, baik sebagai makhluk individual maupun koletif. Sedangkan gambaran rinci tentang proses peranan iman yang menumbuhkan ketaqwaan sebagai berikut, yaitu gambaran singkat sebagai perspektif filsafat agama terhadap iman dan taqwa.
Manusia adalah makhluk yang membutuhkan keselamatan, bukan untuk sekedar beberapa tahun, namun untuk selama-lamanya. Bukan keselamatan fisik berupa kesehatan saja, namun juga keselamatan rohani berupa ketenangan jiwa. Disini iman berperan untuk melenyapkan semua gangguan jiwa. Lebih dari pada itu ia juga membutuhkan keselamatan dalam arti yang tinggi. Keselamatan dalam artian ini menurut wahyu adalah kebahagiaan didunia dan di alam baka.dalam hal ini dibutuhkan peranan iman berupa menciptakan tekat berbuat baik bersama-sama peranan iman yang lain yang berfungsi secara integral. Keberhasilan keselamatan manusia tidak berkat usaha sendiri, namun masih tergantung dengan lainnya, karena realitasnya dia sebagai suatu titik yang kecil terletak dalam suatu kosmos yang maha besar dan tidak terhingga. Bahkan dalam kemerdekaannya dia masih terikat. Oleh karena itu dia membutuhkan dukungan sesamanya dan dukungan lingkungan. Tetapi ternyata tidak semuanya mendukung, bahkan menjadi penghambat dan perintang, karena masing-masing mempunyai keinginan dan kemampuan yang berbeda. Peranan iman berupa tumbuhnya keteguhan pendirian dan kekuatan pengendalian hawa nafsu mutlak dibutuhkan. Sudah barang tentu tidak semua keselamatan berhasil dengan memuaskan bahkan sering terjadi kegagalan. Dalam situasi ini tidak akan terjadi keputusasaan sebab sifat iman yang sebenarnya berperan menumbuhkan sifat tawakkal. Baik berhasil maupun gagal tetap bersyukur sebab iman yang sesungguhnya menumbuhkan rasa cinta dan bahagia dalam situasi apapun. Demikian gambaran proses integral peranan-peranan iman yang mampu menumbuhkan ketaqwaan yang didambakan oleh kejayaan bangsa dan negara.

2.3   Pengaruh kekuatan iman terhadap kehidupan individu dan masyarakat
Sebagaimana peranan iman yang jumlahnya sulit dihitung demikian juga pengaruhnya, di mana yang tidak diketahui lebih banyak. Lebih sulit lagi apabila dianalisis pengaruh iman terhadap hal-hal bersifat metafisik.
William James, seorang guru besar dalam ilmu filsafat di Harvard University berpendapat, bahwa pengaruh keimanan menumbuhkan keberanian, semangat, berpengharapan, menghilangkan perasaan takut serta keluh kesah, memberikan perbekalan hidup yang berupa cita-cita dan tujuan hidup, menimbulkan di hadapannya lapangan kebahagiaan dan alam subur di tengah-tengah gurun kehidupan.
Dr. Paul Erneet Adolf seorang guru besar pada Universitas Saint Jones dan anggota himpunan ahli bedah Amerika berpendapat bahwa ilmu kedokterran dan ilmu kepercayaaan kepada Allah SWT keduanya patut menjadi landasan untuk membangun filsafat modern.
Sebenarnya banyak sekali filosof-filosof dan cendekiawan yang mengakui adanya pengaruh positif dari iman, misalnya Max Scheler, filosof Jerman, Karl filosof Jerman, Karl ospers seorang filosof eksistensialisme, J. Kant filosof dari Rusia yang terkenal dengan teorinya kopernikan ke subyek dan filosof-filosof lain yang terkenal. Pemikiran para filosof dan cendekiawan tersebut pada umumnya tidak secara jelas diterangkan proses terjadinya pengaruh tersebut, sehingga sulit untuk diterima oleh ahli-ahli pikir lainnya.
Misalnya watak dasar manusia adalah egoisme. Watak inilah yang sering menimbulkan permusuhan, perampasan hak orang lain, penguasaan dan lain sebagainya. Namun iman yang mengandung ajaran sosial dan susila mampu menumbuhkan perdamaian dan kedamaian di tengah-tengah kehidupan yang saling bermusuhan.
Dalam wahyu ditetapkan, bahwa manusia itu mempunyai kecenderungan keduniaan tanpa suatu pedoman dan batas merupakan biang pokok timbulnya kerusakan masyarakat. Namun disamping itu keimanan mampu mengendalikan dan menolak kecenderungan itu, karena iman mengandung ajaran tentang batas diperbolehkannya mencintai keduniaan, yaitu selama tidak menimbulkan kerusakan dan bahaya bagi kehidupan masyarakat.
Sejak dahulu kala sampai sekarang, khususnya dalam era globalisasi banyak sekali kegiatan-kegiatan negatif yang tejadi di suatu Negara. Pemerintah dengan undang-undangnya dan hukuman terpaksa mundur dan tidak mampu menyelesaikan kebiasaan negatif tersebut. Ternyata kekuatan iman yang memiliki pengaruh melumpuhkan kebiasaan yang tidak dapat dihadapi oleh kekuasaan dan kekuatan lahir.
Pengaruh kekuatan iman melahirkan akhlak dan moral yang luhur dalam kehidupan manusia, seperti jujur, adil dalam segala situasi, diucapkan kebenaran walaupun terasa sangat berat, ditegakkan kebenaran sekalipun berakibat merugikan dirinya dan keluarganya, bersikap adil terhadap lawan sebagaimana bersikap adil di tengah-tengah kawan, masih banyak lagi norma-norma luhur yang dicetuskan oleh kekuatan iman. Oleh karena sangat patut sekali apabila dinyatakan bahawa iman dan taqwa adalah kunci pengalaman nilai-nilai luhur.
Dengan kunci iman yang menentukan damai atau perang, aman atau kacau, hidup atau mati, tentram atau gelisah, mujur atau malang, kuat atau lemah, halal atau haram, dan sebagainya. Oleh karena itu kepercayaan tentang keesaan Tuhan tidak saja merupakan akibat dai terutusnya nabi Muhammad saw, tapi juga menjadi akibat pokok dan dasar terutusnya nabi-nabi semuanya.
Perubahan jiwa seseorang atau masyarakat merupakan suatu reformasi dalam pandang filsafat. Setiap pembangunan dan kebangkitan umat dalam situasi apapun harus sejalan dengan reformasi jiwa tersebut. Apabila tidak sejalan maka usaha pembangunan dan kebangkitan umat itu hanya berupa rencana atau program semata-mata.
 Reformasi jiwa bukanlah suatu hal yang ringan dilakukan, tetapi merupakan suatu hal yang berat dan sulit, sebab manusia merupakan makhluk yang dalam dirinya bertemu secara integral semua sifat-sifat, baik positif maupun negatif yang memerlukan media yang mampu sebagai mekanisme spiritual yang menormalisir sifat-sifat yang paradok itu. Oleh karena itu wajar perubahan jiwa manusia termasuk usaha yang sangat berat, membendung aliran air yang dahsyat dan mengubah arah alirannya, membuat terowongan tanah dibawah laut merupakan pekerjaan yang lebih ringan daripada usaha mengubah jiwa dan pandangan hidup.
Tetapi ternyata dalam pengalaman sejarah pengaruh kekuatan iman yang mampu menciptakan perubahan jiwa manusia dan menjadikan manusia dalam bentuk baru, sehingga berubah juga pandangan hidupnya di dua masa, yaitu masa di dalam keadaan kafir dan masa di dalam keaadaan beriman, maka jelaslah bahwa dalam masa kedua itu bukan lagi seperti dalam masa pertama, sekalipun nama dan bentuk tubuhnya berubah.
Kadang pengaruh iman terhadap seseorang terjadi secara drastis, tanpa memandang umur dan tingkat penghidupan. Sering pengaruh tersebut bertentangan dengan teori para psikolog, dimana mereka menetapkan teorinya, bahwa keberhasilan pendidikan terikat oleh masa-masa tertentu. Hal ini berbeda dengan pengaruh iman, apabila iman telah tertanam dalam jiwa seseorang, maka iman tersebut mampu mengubah jiwa dan pandangan hidup. Semuanya itu tidak terbatas pada masa-masa tertentu, baik masa remaja, dan masa dewasa maupun tua.
Pengaruh iman terhadap jiwa bukan suatu hal yang diragukan sebagaimana dapat disaksikan pada fakta sejarah bangsa arab. Pengaruh iman terhadap perubahan jiwa tidak hanya terjadi pada kehidupan masyarakat dan bangsa, namun juga terjadi terhadap individu, baik pria maupun wanita, seperti terjadi pada seorang laki-laki bernama Umar bin Khattab dan seorang wanita bernama Khansa`. Ternyata pribadi keduanya sebelum dan sesudah beriman jauh berbeda. Berkat pengaruh iman keduanya menjadi hamba Allah yang penuh taqwa dalam segala situasi dan kondisi.


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Iman dan taqwa bukan merupakan kesatuan yang utuh, akan tetapi antara keduanya merupakan dua pengetahuan yang mempunyai hubungan yang erat sekali. Tinggi rendahnya nilai keimanan berpengaruh besar terhadap tinggi rendahnya nilai ketaqwaan. Sedangkan tinggi rendahnya nilai ketaqwaan sebagai bukti nilai kebenaran nilai iman yang dimiliki.
Peran iman, diantaranya menghilangkan gangguan jiwa, menumbuhkan keteguhan pendirian, menumbuhkan kekuatan pengendali hawa nafsu, menumbuhkan tawakkal, menciptakan tekat berbuat baik dan berperan menciptakan rasa cinta dan bahagia.
Pengaruh kekuatan iman melahirkan akhlak dan moral yang luhur dalam kehidupan manusia, seperti jujur, adil dalam segala situasi, diucapkan kebenaran walaupun terasa sangat berat, ditegakkan kebenaran sekalipun berakibat merugikan dirinya dan keluarganya, bersikap adil terhadap lawan sebagaimana bersikap adil di tengah-tengah kawan, masih banyak lagi norma-norma luhur yang dicetuskan oleh kekuatan iman. Oleh karena sangat patut sekali apabila dinyatakan bahawa iman dan taqwa adalah kunci pengalaman nilai-nilai luhur.

3.2 Saran

Kita hendaknya selalu beriman kepada Allah  karena iman itu dapat membentuk   masyarakat yang bertaqwa.

No comments:

Post a Comment