Zeno dari Elea adalah seorang filsuf dari mazhab pemikiran Eleatik. Ia
mengikuti jejak gurunya yang bernama Parmenides — sama-sama
mempercayai bahwa semua gerak dan perubahan di dunia bersifat semu. Baik
Zeno maupun Parmenides berpendapat bahwa alam semesta aslinya tunggal, diam,
dan seragam. Hanya tampak luarnya saja
yang mengesankan perbedaan atau perubahan.
Meskipun begitu di masa kini, hampir tidak ada karya asli Zeno dan
Parmenides yang bertahan. Hanya satu-dua kutipan dari filsuf sepantaran mereka
yang memberi petunjuk. Mengenai Zeno sendiri keadaannya agak menyedihkan:
dikatakan bahwa aslinya dia mempunyai buku berisi 40 buah paradoks, akan tetapi
buku itu kemudian hilang dicuri orang.
Untunglah, biarpun buku aslinya hilang, filsuf Aristoteles sempat
mencatat sebagian di antaranya. Lewat catatan Aristoteles itu kita di masa kini
dapat mengenal berbagai pemikiran Zeno. Salah satu yang terkandung dalam salinan tersebut
adalah Empat Paradoks Zeno.
Terdapat empat buah paradoks Zeno sebagaimana dicatat oleh Aristoteles.Empat
paradoks itu adalah:
1. Paradoks
Dikotomi
“Sebuah benda yang bergerak tidak akan pernah mencapai tujuan.
Pertama-tama dia harus menempuh perjalanan setengah jarak. Lalu setelah itu dia
mesti menempuh seperempat, seperdelapan, seperenambelas, sepertigapuluhdua …
Sedemikian hingga jumlah perjalanannya menjadi tak-hingga.
Oleh karena mustahil melakukan perjalanan sebanyak tak-hingga,
maka benda tidak akan dapat sampai tujuan.”
2. Paradoks Achilles dan Kura-kura
“Achilles dan Kura-kura melakukan lomba lari, meskipun begitu,
kura-kura diizinkan start lebih awal.
Agar dapat menyamai kura-kura, Achilles menetapkan sasaran ke tempat
kura-kura saat ini berdiri.
Akan tetapi, tiap kali Achilles bergerak maju, kura-kura juga bergerak
maju. Ketika Achilles sampai di tempat kura-kura, kura-kura sudah berjalan
sedikit ke depan.
Lalu Achilles mengejar posisi kura-kura yang sekarang. Akan
tetapi setibanya di sana, kura-kura juga sudah maju sedikit lagi.
Lalu Achilles mengejar posisi kura-kura yang sekarang. Akan
tetapi setibanya di sana, kura-kura juga sudah maju sedikit lagi. Demikian
seterusnya ad infinitum.
Jadi kesimpulannya: mustahil bagi Achilles untuk bisa menyamai
kura-kura dalam balapan.”
3. Paradoks
Anak Panah
“Misalnya kita membagi waktu sebagai “deretan masa-kini”. Kemudian kita
lepaskan anak panah. Di setiap “masa-kini” anak panah menduduki posisi tertentu
di udara.
Oleh karena itu anak panah dapat dikatakan diam sepanjang waktu.”
4. Paradoks
Stadion
“Terdapat tiga buah barisan benda A, B, dan C di lapangan tengah
stadion.
Barisan A terletak diam di tengah lapangan. Sementara B dan C
masing-masing terletak di ujung kiri dan kanan A.
Kemudian B dan C bergerak saling mendekati dengan kecepatan yang sama
(hendak bersejajar dengan barisan A).
Antara “Sebelum” dan “Sesudah”, titik C paling kiri melewati dua buah
B, tetapi cuma satu buah A.
Berarti waktu C untuk melewati B = setengah waktu untuk melewati A.
Padahal A dan B adalah unit yang identik!
Mungkinkah setengah waktu = satu waktu?”
Ada dua tema yang dominan dalam Paradoks Zeno, yakni gerak dan
ketakhinggaan. Sebagaimana sudah diceritakan di awal, Zeno menganggap bahwa
perubahan di dunia bersifat semu. Pendapat itu kemudian tercermin lewat empat
buah paradoks di atas.
Dalam paradoks pertama (“dikotomi”), Zeno menyampaikan bahwa gerak
benda antara dua titik bersifat mustahil — atau minimal, mengandung aspek
filsafat yang misterius. Ada baiknya kalau kita simak lagi paradoksnya di bawah
ini.
Setengah,
seperempat, seperdelapan, seperenambelas…
Dalam grafik di atas digambarkan bagaimana terdapat banyak segmen
perjalanan antara dua titik (0-100). Yang mengganggu Zeno di sini bukan
geraknya, melainkan, bagaimana ketakhinggaan bisa begitu merepotkan.
Dalam contoh di atas Zeno mengetengahkan bahwa — karena jumlah segmen yang
harus ditempuh sejumlah tak-hingga — maka gerak dari satu tempat ke tempat lain
adalah mustahil.
Ibaratnya begini. Apabila orang hendak berjalan menuju garis finis,
maka lintasan jalannya dapat dibagi jadi bagian kecil-kecil. Kemudian supaya
bisa lewat, maka bagian kecil-kecil itu harus dijalani satu per satu.
Sedemikian hingga pada akhirnya orang sampai garis finis.
Akan tetapi problemnya adalah bahwa yang kecil-kecil itu jumlahnya amat
banyak. Malah menurut Zeno: jumlahnya mencapai tak-hingga.
Jadi sekarang sudut pandangnya berubah. Kita tahu orang bisa menempuh
jarak kecil-kecil, tetapi, bisakah orang menempuh jarak kecil-kecil itu tak
berhingga kali?
Nah di sini akal mengatakan bahwa itu mustahil. Zeno sendiri akhirnya
menilai bahwa gerak antara dua titik itu adalah semu. Biarpun di dunia
nyata orang melakukannya dengan mudah, bukan tak mungkin bahwa itu sebenarnya
hanya ilusi.
Hal yang sama juga berlaku di paradoks kedua “Achilles dan Kura-kura”.
Lewat paradoks ini Zeno menyatakan bahwa “mustahil bagi orang yang telat
balapan untuk dapat menyamai lawannya”.
Alasannya? Karena terdapat sejumlah kemajuan kecil-kecil yang tak
mungkin dikejar. Setiap Achilles sampai di tempat kura-kura, kura-kura selalu
sudah melaju sedikit lagi di depan. Pada akhirnya Achilles digambarkan
Zeno sebagai “tak akan mampu melewati kura-kura”.
(keterangan: t0
melambangkan situasi pada saat pertama; t1 melambangkan situasi pada saat
kedua;dan seterusnya)
Problemnya tentu saja bahwa di dunia nyata hal itu tidak berlaku,
makanya disebut paradoks. Siapapun yang pernah nonton balap tahu hal ini.
Pembalap yang start belakangan selalu bisa menyalip lawan di depannya.
Memang kadang agak sulit melakukannya, tetapi bukan tidak mungkin.
Sebagaimana halnya dengan paradoks pertama, yang hendak disampaikan
Zeno di sini adalah bagaimana konsep gerak jadi semu kalau dianalisis secara
tak-hingga.
Sementara itu, lain lagi dengan paradoks ketiga tentang anak panah.
Berbeda dengan sebelumnya yang ini mencoba menunjukkan bahwa “gerak” dan “diam”
itu sebenarnya tak dapat dipisahkan.
Zeno melihat waktu sebagai rangkaian “masa-kini” yang berkesinambungan.
Oleh karena itu sebuah anak panah yang meluncur memiliki berbagai versi
“masa-kini” di perjalanannya. Ada “masa-kini” sesaat sesudah lepas dari busur;
“masa-kini” setelah beberapa detik di angkasa, dan seterusnya.
Problemnya adalah bahwa di tiap “masa-kini” itu anak panah mendiami
tempat yang tetap. Persis seperti kalau direkam kamera video. Di setiap frame
tampak berbagai kondisi anak panah. Semua tampak diam. Akan tetapi kalau
videonya diputar, barulah terkesan bahwa anak panah itu sebenarnya
bergerak.
Jadi di sini ada problem: bahwa anak panah itu “diam” sekaligus
“bergerak”. Pertanyaannya sekarang adalah, apakah gerak itu?
Singkat cerita, Zeno menilai bahwa paradoks anak panah menunjukkan
kebenaran filsafatnya. Bahwa gerak itu aslinya semu — suatu benda terkesan
bergerak cuma oleh persepsi manusia saja.
Paradoks terakhir (“Paradoks Stadion”) adalah yang paling sederhana dan
kurang bermutu dibandingkan dengan yang lain.
Dalam Paradoks Stadion, Zeno mengetengahkan bahwa “dua benda yang
saling mendekati butuh waktu lebih singkat untuk bisa bersejajar”.
Sebenarnya ini adalah penerapan dari relativitas Galileo
yang diajarkan di bangku SMA kita dulu. Ada yang masih ingat ceritanya? Kalau
dua benda bergerak, yang satu bisa dianggap diam, sementara yang satu lagi
kecepatannya dijumlahkan.
Nah demikian juga dengan kasus Paradoks Stadion di atas. Ketika B dan C
sama-sama bergerak, maka jumlah waktu sebelum mereka saling bertemu juga akan
mengecil, sebab kecepatannya saling menjumlahkan. Sementara A (yang tidak
bergerak) tidak mendapat keuntungan tersebut.
Sebagaimana sudah disebut beberapa kali di atas, Zeno adalah filsuf
yang tidak percaya pada gerak dan perubahan. Lewat empat paradoks di atas ia
ingin memastikan hakikat kenyataan sebenarnya. Sebagai seorang Eleatik Zeno
berpendapat bahwa semua gerak benda itu semu; oleh karena itu, untuk
membuktikan keyakinannya, ia kemudian merancang serangkaian paradoks.
ide Zeno yang menghubungkan antara kesemuan gerak dengan konsep
tak-hingga. Ketika berbicara keseharian yang terbatas, ia menganalisisnya lewat
serangkaian kecil-kecil yang jumlahnya mendekati tak-hingga. Pada akhirnya
jalan berpikir ini menghasilkan ide baru yang segar — kalau tidak boleh
dibilang absurd sama sekali.
Kalau ada di antara pembaca yang akrab dengan matematika, kemungkinan
akan ngeh bahwa ide-ide Zeno punya bidang bahasannya sendiri. Keanehan
Paradoks #1 dan #2, misalnya, dapat dijelaskan lewat deret konvergen.
Lewat ilmu kalkulus para ahli matematika belajar bagaimana menjumlahkan
irisan-irisan kecil yang jumlahnya mendekati tak-hingga. Menariknya: biarpun
irisannya tak-hingga, kalau diintegralkan, ternyata jumlahnya finite.
Yang semacam ini membantu menjelaskan hal-hal paradoks dalam paparan Zeno.
Bagaimana perkara keseharian yang terbatas (finite) dapat
dianalisis menggunakan metode tak-hingga (infinite). Seiring dengan kemajuan
ilmu matematika, konsep “ketakhinggaan dalam berhingga” (“infinity in
finity”) jadi mudah dicerna. Akan tetapi ini bukan berarti semua masalah
Zeno sudah selesai. Masih ada pertanyaan-pertanyaan filosofis yang perlu
dijawab.
Masalahnya sendiri bukan pada bagaimana matematika menyelesaikan
paradoks Zeno, melainkan, bagaimana memahami filosofi di balik jalan
pikiran Zeno. Apa itu gerak? Apa sebenarnya hakikat perubahan? Seperti apakah
realitas? Pertanyaan-pertanyaan di atas adalah concern filsafat yang
sifatnya di luar jangkauan matematik.
Sebagaimana filsuf terkenal Bertrand Russell berkomentar secara khusus
tentang Zeno,
”Zeno’s arguments, in some form, have afforded grounds for almost all
theories of space and time and infinity which have been constructed from his
time to ou
No comments:
Post a Comment