Kapan kau akan datang lagi, membangunkan
tidurku, mengingatkanku bahwa waktu itu berharga saat denganmu?
19 April 2012
“Eh, stop… stop...!,” teriakku. “Aku turun di sini aja. Mau mampir sebentar
ke warnet”
“Oh, mau ngapain?,” kata Tata sambil menghentikan sepeda motornya.
“Biasa, facebook-an”
“Dasar, gak ada kerjaan lain ya. Tiap hari online melulu,” Tata mengomel.
“Ah, bawel. Udah kayak Ibu-ibu kau,” sahutku seraya berlari sambil
menjulurkan lidah ke arah Tata yang terlihat sebal.
Siang ini matahari menukik tajam. Ku seka peluh di dahiku dengan ujung
jilbabku.
“Ada
tempat kosong, mas?,” tanyaku pada penjaga warnet.
“Oh, ada Mba. Silahkan”
“Makasih”
Ku buka akun facebookku dan
segera aku menuju akun seseorang.
Bagas Prasetya berpacaran dengan Mariska
Aprilia.
Hari Jadi: 19 April 2012
Deg…
Aku terpaku melihat serentetan kata yang terpampang di monitor. Dengan
tanpa permisi, airmataku mengalir tak bisa ku bendung.
Hei, kenapa kau menangis? Bukankah ini yang
kau inginkan? Bukankah kau yang menyuruhnya menyerah mengejarmu dan
menyarankannya mencari sosok yang lain sebagai pengganti, jeritku dalam
hati.
Ku seka pipiku dengan segera, lalu jemariku dengan cekatan menelusuri
tiap huruf yang tertangkap oleh mata. Ah, aku benar-benar terkejut. Begitu cepatnya kau berpaling hati. Padahal
dua hari lagi adalah ulang tahunku. Jahat!
Trililit… Trililit… Aku tersadar,
ponselku berbunyi. Pesan masuk. Pasti Bagas,
pikirku. Segera ku raih ponsel merah maroon dan seketika aku kecewa melihat
kenyataan bahwa bukan Bagas, melainkan Rendy. Ku buka pesannya.
‘Boleh ku telepon?’
‘Silahkan.’ Sms terkirim
Kriing…Kriing..
“Halo, Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam. Lagi ngapain Tata?”
“Lagi online aja”
“Berarti udah tahu kalo…”
“Ya,” Aku memotong cepat. “ Sudahlah, gak usah dipikirin. Aku baik-baik
saja kok”
“Oh, lalu bagaimana denganku?”
“Kau kenapa?,” tanyaku pura-pura tak mengerti
“Perasaanku”
“Perasaaanmu kenapa?”
“Kau ini, selalu begitu”
“Aku kenapa?”
“Astaga, dinginnya. Aku menyukaimu, bodoh. Harus ku ulangi berapa kali
lagi?”
“Lalu?”
“…”
“Haha..”
“Kenapa ketawa?”
“Abisnya kau lucu sih. Haha.. “
“Aku serius, Ta”
“Trus?”
“Pacaran yuk”
“Gak”
“Kenapa?”
“Gak sekarang lah. Aku masih belum
siap. Kau tahu kan
bagaimana hubunganku dengan Bagas”
“Ya, tapi sekarang kan
udah beda. Dia udah dengan seseorang yang lain”
“Lalu kenapa? Setidaknya kami masih punya janji kecil sebagai pengikat”
“Janji Dandelionmu?”
“Ya, janji untuk selalu ada satu sama lain”
“Oke, tapi itu bukan cinta, kan?”
“Ya”
“Lalu apa lagi? Aku ada di sini dan mencintaimu”
“Aku tahu. Tak perlu kau katakan berulang kali. Aku mengerti. Tapi maaf,
bisakah kau menunggu sebentar lagi? Aku masih perlu waktu untuk membenahi
segalanya”
“Tapi sampai kapan?”
“Entahlah. Karena ini masalah hati. Jadi, hanya hati dan waktu yang bisa
menjawab”
“Ya sudah, gak apa-apa. Aku akan menunggumu sampai kau siap bahkan kalau
perlu, aku akan menunggumu selamanya. Ah, tidak. Bukan selamanya, tapi sehari
lebih lama dari apa yang kita sebut selamanya”
Deg…
“Ah, udah dulu yah. Aku mau pulang dulu”
“Memangnya kau lagi di mana?”
“Di Rumah Sakit”
“Kau ngapain di situ?,” kataku dengan cemas.
“Cuma ngantar teman check up”
“Oh, ya sudah. Sampai nanti. Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam”
Hei, kenapa tadi aku
berdebar-debar? Ah, sudahlah…
--------------------------------------
20 April 2012
Aku benar-benar sudah menjadi penguntit. Ku ikuti setiap status terbaru
yang di posting oleh kedua pasangan
yang sedang berbunga-bunga ini. Sesekali rasa cemburu muncul, namun segera ku
tepis dengan meyakinkan diri bahwa ini adalah jalan yang terbaik. Sampai hari
ini, Bagas belum menghubungiku. Aku sedikit jengkel. Untuk menghubungi duluan,
aku tak berani. Takut mengganggu dan membuatnya tak nyaman.
Segera aku
mengetik huruf-huruf di layar monitor untuk membuat sebuah status dengan
harapan nantinya akan dibaca oleh Bagas, sekaligus memberi isyarat bahwa aku
telah siap mendengar dan menerima sepahit apapun kenyataan yang terjadi.
:: Di hari yang spesial besok, aku ingin sebuah
sajak darimu. Sajak yang bercerita tentang segalanya. Aku ingin kita tak lagi
bersembunyi. Mari sini, duduk, kita akan menentukan hari yang baik untuk
perpisahan kita ::
Tak berselang lama, ternyata Mariska memposting sebuah status yang
membuatku benar-benar jengah.
:: Rupanya ada yang sirik yah. Kasihan amat
nasibmu. Dia itu sekarang sudah menjadi milikku, bukan milikmu. Aku yang
terbaik, itu sebabnya dia memilihku ::
Bukan main geramnya
hatiku. Bukan lagi sebuah status, tapi dengan segera ku posting sebuah catatan yang di dalamnya kutandai namanya, nama
Bagas, dan juga nama Rendy.
Duduk Manis dan Dengarkan…!
Apa yang membuat seorang manusia menjadi
manusia yang sejati?
Apa karena asalnya? Atau karena kekuatannya? Menurutku bukan begitu.
Apa karena asalnya? Atau karena kekuatannya? Menurutku bukan begitu.
Bukan bagaimana caranya memulai, tapi bagaimana
caranya membuat keputusan untuk menentukan akhir.
Untuk siapa saja yang padanya masih
terganjal oleh satu atau lebih pertanyaan tentangku, aku cuma ingin klarifikasi
beberapa hal.
Berhentilah mencurigaiku atau membenciku
secara berlebihan. Aku sudah menyerahkannya padamu. Masih kurang? Apa lagi yang
ingin kau ambil dariku? Katakan saja. Akan ku berikan.
Jangan berburuk sangka padaku. Jika aku
menginginkan orang yang kau sayangi itu, tentunya sudah sejak dulu ku lakukan.
Jauh sebelum kau mengenalnya ataupun jauh sebelum kau bermimpi mengenalnya.
Jika aku benar-benar mencintai dan mengingunkannya, tentu sekarang dia telah
menjadi milikku, bukan milikmu. Coba saja kau tanyakan padanya atau orang-orang
di sekeliling kami, bagaimana perjalanan kami selama ini. Coba katakan
padaku! Ceritakan segala yang bisa kau ceritakan! Keluarkan segala
perbendaharaan kata yang kau punya untuk melukiskan seberapa besar rasamu
padanya, rasanya padamu, perjuangannya mendapatkan cintamu, ataupun
perjuanganmu mempertahankan hubunganmu. Ceritakan padaku, hal-hal tentangnya
yang membuatmu jatuh hati, tentang impian-impianmu di masa depan dengannya,
tentang hal-hal indah yang telah dan akan kau lewati dengannnya, atau apapun
itu. Coba kau ceritakan padaku. Dan kau akan tahu, seberapa banyaknya pun yang
kau ceritakan, akan ku pastikan bahwa aku punya cerita yang jauh lebih besar
darimu.
Tapi
sekali lagi tak bosan ku tegaskan padamu, aku tak menginginkannya. Meski ikatan
kami tak terlihat, tapi kekuatannya melebihi ikatan yang terlihat.
Dan
perlu ku tegaskan pula, meski ikatan kami begitu kuat, tapi bukan cinta,
sayang.. :)
Ya,
ini bukan cinta. Aku menyayanginya, tapi bukan cinta.
Memang,
begitu sulit ku terima dan beradaptasi dengan kenyataan bahwa kini dia
termiliki. Tapi ku pikir itu lebih baik buatnya juga buatku. Dia bisa bangkit
dan memulai petualangannya yang baru, sedangkan aku bisa terus melangkah untuk
menemukan cinta yang sesungguhnya memang diperuntukkan padaku.
Karena
itu, berhentilah bertingkah macam-macam. Bersyukurlah atas apa yang kau miliki
sekarang. Jangan membuatku marah, karena aku bisa berbuat lebih kejam dari
batas kejam yang bisa kau definisikan. Jadi, tenang saja dan jadilah pacar yang
baik...
Kirim. Selesai...
Di balas!
::Maaf
Mba, kalau saya sudah lancang::
::Gak
apa-apa. Yang penting jangan diulangi. Kalo bicara tolong dipikirin. Jangan dengan
kata-kata yang kasar dan menyinggung perasaan orang lain...::
---------------------------------------
Sore hari.
“Dor...!”
Sontak aku terkejut mengetahui
ada yang menepuk bahuku dari belakang. Aku menengok dan mendapatkan Rendy
sedang cengir memamerkan sederet gigi putihnya.
“Ah, kau suka banget ngagetin
orang. Untung aku gak punya penyakit jantung. Kalau iya, bisa mati aku,”omelku.
“Jangan banyak melamun, ayam
tetangga banyak yang mati, ntar”
“Yey, siapa juga yang melamun.
Aku lagi berpikir”
“Halaaah, alasan”
“Ada keperluan apa datang ke
rumah?”
“Memangnya gak boleh ya? Sinis amat sih”
”Tumben aja. Setahuku, kalau ada tugas dari kampus, baru kau datang ke rumah”
”Tumben aja. Setahuku, kalau ada tugas dari kampus, baru kau datang ke rumah”
“Cuma pengen main-main. Aku
kangen sih”
“Halaaah”
“Tidakkah kau mendengar
hatiku yang bising meneriaki rindu?,” katanya yang tiba-tiba saja sudah
berjongkok di hadapanku dan menatapku dalam-dalam.
“Mulai deh gombalnya,” sahutku
seraya memalingkan wajah dan menjauh. Takut detak jantungku terdengar olehnya.
Dia tersenyum. “Oh iya,
ngomong-ngomong catatanmu tadi sadis amat yah. Hahaha. Kasihan anak orang”
“Biarin, siapa suruh
macam-macam. Tata dilawan”
“Ya ya ya... Ke pantai yuk.
Jalan-jalan sore”
“Hm, boleh. Kebetulan aku lagi
suntuk di rumah”
Segera kami meluncur dengan
menggunakan sepeda motor “Satria F” milik Rendy yang 3 bulan lalu di beli dari
hasil tabungannya selama setahun. Jalanan sore itu terlihat ramai. Kendaraan
umum maupun pribadi lalu lalang dengan berbagai keperluan. Sesampainya di
pantai, aku segera berlari ke bibir pantai. Merentangkan tangan, menghirup
udara dan menghembuskannya perlahan. Rendy menyusul di belakang.
“Tak ada yang lebih ku suka dibandingkan tempat ini. Yang membiarkanku berjalan
telanjang kaki di sepanjangnya. Sapuan ombak yang menghantam lembut, anginnya
yang sejuk dan kadang seolah ingin menerbangkanku,” ucapku sambil sesekali
melempar karang kecil ke tengah laut.
“Ya, dan di tempat inilah aku pertama kali bertemu denganmu,” sahut Rendy
sambil menatapku dan tersenyum.
Kutatap matanya yang sayu. Aku tersenyum. Entah kenapa, sore ini dia
terlihat menyilaukan.
-----------------------------------
21 April 2012
Sepertinya aku sudah bisa mengikhlaskan segala yang terjadi. Ini hari
ulang tahunku. Ada
banyak ucapan yang ku terima, baik dari orang-orang
di dunia nyataku maupun teman-teman di dunia maya. Tapi Bagas belum juga
menghubungiku.
Ku buka akun
facebookku melalui ponsel. Lalu mengupdate
status terbaru.
::Dalam mimpi, janji Dandelion begitu kental
dengan ketulusan. Tapi begitu terbangun, Dandelion memang dalam genggaman,
namun telah layu... Apakah harus dipertahankan? Tentu tidak. Untuk apa merawat
sesuatu yang tak ingin dirawat oleh takdir?::
Kriiing…Kriiing…
Telepon dari Bagas! Akhirnya…
“Halo, Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam,” suaraku bergetar. Perasaanku tak karuan.
“Selamat hari lahir, Ta..”
“Makasih, Gas”
“Kau apa kabar”
“Tak begitu baik”
“Ta..”
“…”
”Tata!”
”Tata!”
“Hm...”
“Maaf”
“...” Mataku berkaca-kaca.
“Ta...?”
“Ya,” sekuat tenaga aku berusaha mengendalikan diri.
“Maaf, aku gak bisa menjaga Janji Dandelion”
Ya Tuhan, aku menangis..
“Hei, jangan menangis. Aku memang sudah melakukan kesalahan berkali-kali.
Kau boleh memakiku semaumu. Tak apa. Tapi tolong, jangan membenciku”
Aku mengatur napas perlahan. Meredakan emosi yang bergejolak di dada.
“Sudahlah. Aku sakit, memang. Tapi tak apa. Karena sesungguhnya butuh
lebih dari rasa sakit untuk mempertahankan sebuah janji”
“Tata, aku memang jahat. Aku benar-benar minta maaf”
“Berhentilah meminta maaf. Fokuslah dengan hidupmu yang baru. Jangan
rusak bahagiamu dengan cemberutnya. Kita memang tak bisa memilih dengan siapa
kita jatuh cinta. Tapi aku rasa, kita bisa memilih siapa yang patut untuk tetap
kita perjuangkan”
“Maksudmu?”
“Ya, kau sudah memilih. Begitupun denganku. Sekarang ku rasa aku sudah
tahu hatiku lebih tertuju pada siapa”
“Rendy, yah?,” Ada
nada cemburu yang ku tangkap.
“Ya, selama ini aku sudah egois dan membohongi perasaanku sendiri. Sibuk
mengejar sesuatu yang semu. Aku bahkan tidak menyadari, ada sebuah ketulusan
yang begitu hangat di sisiku dan menjagaku selama ini. Ya, perasaan Rendy yang
begitu tulus”
“Baiklah. Aku kalah. Dia pria yang baik. Kejarlah cintamu. Mungkin kau
akan lebih bahagia jika dengannya”
“Iya...,” ucapku seraya tersenyum.
--------------------------------------
Aku benar-benar ingin bertemu dengan Rendy dan mengatakan bahwa aku
mencintainya.
Tanpa berlama-lama, ku telepon ponselnya.
“Halo, Ren”
“Ah, halo. Tata
ya?”
”Iya, ini siapa?”
”Ini mamanya Rendy”
”Iya, ini siapa?”
”Ini mamanya Rendy”
“Ah, tante, Rendy mana yah?”
“Ehm, sebenarnya Rendy melarang tante untuk beri tahu kamu tentang
keadaannya. Tapi tante gak tega”
“Rendy kenapa?,” tanyaku cemas. Firasatku buruk.
“Sekarang tante lagi di Rumah Sakit. Rendy kritis. Dia sedang ditangani
oleh Dokter”
Praang!!
Ponselku jatuh dan pecah berserakan. Aku segera berlari menuju Rumah Sakit.
Ponselku jatuh dan pecah berserakan. Aku segera berlari menuju Rumah Sakit.
Astaga Ren, kau sakit apa? Kenapa
merahasiakannya dariku. Kau benar-benar jahat. Ah, bukan. Aku yang jahat.
Selama ini aku tak peduli perasaanmu. Meski begitu, kau selalu ada di saat aku
butuh teman untuk curhat. Kau selalu mendengar setiap ceritaku. Kau benar-benar
berusaha membuatku nyaman. Kau masih bisa memikirkan kebahagiaan orang lain padahal kau sendiri menanggung
beban yang begitu berat sendirian. Betapa bodohnya aku. Aku mencintaimu. Aku
mencintaimu! Apa kau mendengar? Aku benar-benar mencintaimu. Kau ingin
mendengar kalimat itu dari bibirku, kan?
Akan ku ucapkan beribu-ribu kali di depanmu. Tapi ku mohon, tetaplah bertahan demi aku, jeritku dalam hati.
Airmataku mengalir deras. Dadaku perih.
Sesampainya di Rumah Sakit, aku segera menuju ruang di mana Rendy berada.
Tak ku pedulikan peringatan orang-orang yang berjalan di lorong Rumah Sakit
yang menyuruhku berhati-hati.
Kudapati mamanya Rendy sedang mondar mandir, berharap-harap cemas sembari
sesekali melongok melihat ke dalam ruangan melalui kaca jendela.
“Gimana tante? Apa Rendy baik-baik saja?,” tanyaku dengan napas
tersengal-sengal.
“Entahlah, tim Dokter masih menanganinya”
“Ya Tuhan, bantu Rendy untuk tetap bertahan,” pintaku cemas.
Tiba-tiba Dokter membuka pintu dan kami segera menghampirinya.
“Gimana Dok, apa Rendy bisa tertolong?”
”Maaf Bu, kami dari pihak Rumah Sakit sudah berusaha semaksimal mungkin.
Tapi takdir berkata lain. Kanker
otak stadium akhir. Ia bisa bertahan sejauh ini, itu saja benar-benar sebuah
keajaiban”
“Tidak, tidak mungkin,” jeritku.
“Sekali lagi, maaf,” kata Pak Dokter menunduk kemudian berlalu.
Aku langsung menghambur ke dalam kamar dan kudapatkan sosok yang
terbaring pucat tak bernyawa
lagi. Akh, ternyata maut lebih mesra memeluknya. Ku peluk erat-erat dan ku
guncangkan tubuhnya.
“Bangun Ren! Menyatakan cinta, lalu pergi begitu saja. Benar-benar hobby yang buruk. Kau gak boleh
meninggalkanku secepat ini. Aku belum menyatakan perasaanku padamu. Apa kau
lupa, kau berjanji akan menungguku sehari lebih lama dari apa yang kita sebut
selamanya? Bangun Ren! Aku masih ingin mendengar candaanmu. Masih ingin
mendengar suaramu. Masih ingin berada di sampingmu”
Berjuta perasaan bercampur baur menjadi satu, perih. Mama Rendy
merangkulku erat.
”Tante, maafin Tata. Tata gak bisa membahagiakan Rendy bahkan di
detik-detik terakhir hidupnya”
“Sudahlah, nak. Jodoh, rezeki, dan maut itu di tangan Tuhan. Ini sudah
takdir. Harus ikhlas. Tuhan tak pernah salah,” mama Rendy menenangkan.
--------------------------------
Langkahku terasa begitu berat saat mengantar Rendy ke tempat
peristirahatan terakhirnya. Benar-benar seperti mimpi. Masih ku ingat senyumnya
kemarin. Saat dia masih di hadapanku. Sekarang dia telah menjadi milik-Nya. Kenangan
kita terlalu nyata, meski hanya dalam ingatan. Kau mengunciku sendirian di sana, sementara kau
melenggang pergi.
Di samping nisannya, aku kirimkan sepotong doa pada-Nya. Semoga arwah
Rendy ditempatkan di tempat terbaik di sisi-Nya. Ada yang menyentuh bahuku. Aku menoleh. Ah,
mamanya Rendy.
“Ini, Rendy titip surat untukmu,” mama
Rendy menyodorkan sepucuk surat
beramplop biru langit seraya tersenyum. “Tante pulang dulu yah,” sambungnya.
Aku mengangguk.
Segera ku buka surat
tersebut dan mulai membaca.
21 April 2012
Mungkin tak terlalu penting. Tapi mumpung
aku ingat, ini adalah 500 hari perkenalan kita.
Aku tertegun sejenak, mengingat-ingat lalu tersenyum. Ku lanjutkan
membaca.
Selama ini ada banyak hal yang terjadi. Kau
bodoh, keras kepala, egois, dan sadis. Bagaimanapun, sampai hari ini terima
kasih banyak. Meski secara nyata, 500 hari terlewat sesungguhnya tak mampu
membuat kita keluar dari hubungan yang menurutku begitu abu-abu. Meski
demikian, aku bahagia kok.
Saat kau menerima suratku ini, aku ada di
mana yah? Apa di jalan, di rumah, di kampus, di Rumah Sakit, atau sudah di
sisi-Nya? Entahlah. Di manapun aku berada, aku pasti akan mendoakan
kebahagiaanmu sepenuh hati. Selamat hari lahir, sayang... :)
Aku berharap, di usiamu yang baru ini, kau
bisa lebih belajar mendewasakan pemikiranmu. Impianku adalah melihatmu bersinar
di jalan yang kau sukai.
Aku mencintaimu. Bagaimanapun, aku
mencintaimu. Mencintaimu, aku belajar dari hujan; berulang kali jatuh, tanpa
pernah mengeluh. Kau mencintaiku juga, kan?
Aku tahu meski tak pernah kau katakan. Aku tahu kau terlalu gengsi untuk
mengatakannya. Tapi tak apa. Itu yang ku suka darimu :)
Sampai di situ aku berhenti membaca. Menarik napas dan menghembuskannya
perlahan. Dadaku terasa lebih sesak dibanding tadi. Dia sudah pergi. Dan
kehilangan terasa lebih nyata dari segala yang pernah ada. Ku lanjutkan
membaca.
Kau tahu, sebelum tidur, aku suka meletakkan
tangan di dada dan merasakan kau berdetak. Di sudut paling rahasia. Itu membuatku
selalu merasa dekat denganmu.
Kita memang tidak ditakdirkan untuk terus bersama, tapi
kita pernah bersama, kan.
Setidaknya Tuhan pernah percaya kita. :)
Selamat berjuang untuk hidupmu
selanjutnya... :)
Love you...
Selesai membaca, kulipat kembali surat
itu dan kumasukkan ke dalam tas.
Huft.
Aku berdiri. Menarik napas panjang.
Di hari ulang tahunku, ini
benar-benar kado terburuk. Lagi-lagi aku kehilangan makna kesekian kali;
sendiri, pikirku.
Aku beranjak pulang.
Di tengah jalan, terlihat seorang pria yang terlihat kerepotan memungut
kertas-kertasnya yang beterbangan. Segera ku bantu mengumpulkan
lembaran-lembaran tersebut dan menyerahkan padanya. Ia mendongakkan kepala lalu
tersenyum, manis sekali.
“Terima kasih,” ucapnya.
“Hm, sama-sama”
“Kenalin, Aku Chandra,” katanya seraya menyodorkan
tangan.
“Tata,” balasku menjabat tangannya. “ Aku duluan, ya,” sambungku lalu
berbalik dan melanjutkan perjalanan pulang.
“.... Tata udah punya pacar?”
Langkahku terhenti. Diam sejenak, lalu menoleh.
“Masih mencari...,” ucapku seraya tersenyum dan melanjutkan perjalanan.
Ku pandang langit biru yang cerah. Sinar matahari terasa hangat
menyentuhku. Terlihat sepasang burung yang entah apa namanya, terbang saling
berkejaran. Aku tersenyum.
Akh, perjalanan adalah takdir...
-----------------------------------
No comments:
Post a Comment